Kamis, 26 Agustus 2010

DEGRADASI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN KEMISKINAN NELAYAN KOTA BENGKULU1

Henny Aprianty 2,


PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui, bahwa 60% penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir, termasuk Indonesia yang terkenal dengan Negara maritime, dimana 140 juta penduduknya bermukim di wilayah pesisir (terutama di wilayah 50 km dari garis pantai kearah darat). Laju pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir besar dibandingkan yang terjadi di daerah hulu (Cincin-Sain dan Knecht, 1998). Secara keseluruhan kawasan pesisir sangat rentan terhadap kerusakan biofisik lingkungan. Di wilayah ini, terjadi berbagai macam konflik pengelolaan, dan ketidak pastian hukum yang semuanya sangat mengancam kelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut . Hingga saat ini, angka- angka kerusakan sumberdaya alam pesisir dan laut menunjukkan tingkat yang sangat mengkhawatirkan seperti 72% terumbu karang rusak (22% baik dan 6% sangat baik, 40% hutan mangrove rusak langkanya nener dan benur. Disamping itu wilayah pesisir banyak mengalami masalah pencemaran berat, dengan kondisi yang semakin meningkat (Alikodra, 2005).
Kerusakan dan pencemaran di wilayah pesisir ini, sangat berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, terutama kelompok masyarakat miskin. Kehidupan sosial ekonomi mereka semakin sulit, karena jumlah tangkapan ikan, kepiting dan udang yang semakin berkurang. Adanya logam berbahaya dan beracun, seperti terdapatnya kandungan merkuri di tubuh kerang hijau ataupun ikan, telah memberikan dampak yang sangat merugikan bagi petani kerang hijau, nelayan maupun petani tambak. Masalah pencemaran ini sangat terkait dengan pertumbuhan industri, kegiatan pertambangan, pemakaian pupuk pertanian ataupun makanan ikan yang berlebihan, pengeboran minyak, tumpahan minyak, dan sampah pemukiman ataupun perkotaan yang akan memberikan dampak perubahan dan menyebabkan timbulnya ancaman kelestarian, tangkap lebih (over fishing), degradasi habitat pesisir dan abrasi pantai yang berimplikasi pada masalah kesejahteraan komunitas penghuni wilayah tersebut.
Kota Bengkulu merupakan salah satu wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu yang terletak di kawasan Pantai Barat Sumatera. Sesuai letak geografisnya, Kota Bengkulu memiliki garis pantai ± 60 km dengan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang cukup besar baik hayati maupun non hayati. Sebagian besar masyarakatnya terkosentrasi di wilayah pesisir dan memanfaatkan perikanan tangkap sebagai sumber mata pencaharian utama.
Ada dua fenomena yang bertolak belakang yang tergambar, pertama pada umumnya pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut belum dikelola secara optimal, kedua, secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu sudah mengalami kerusakan, seperti degradasi pantai, rusaknya hutan mangrove dan terumbu karang, semakin berkurangnya hutan pantai serta penanataan pemukiman di pinggir pantai yang kurang rapi dan terkesan kumuh. Sementara itu, kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetap berada dibawah garis kemiskinan. Beranjak dari kondisi tersebut dan mempertimbangkan permasalahan kerusakan sumberdaya alam pesisir dan laut yang semakin kompleks, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji struktur sosial ekonomi, budaya dan ekologi masyarakat pada wilayah terdegradasi dalam pemanfaatan sumberdaya alam pesisir.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Kandang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu pada bulan Maret 2005 sampai dengan Februari 2006. Metode penelitian menggunakan kombinasi metode studi kasus dan metode survey.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sumberdaya Alam Pesisir Kota Bengkulu
Sumberdaya Perikanan Laut
Sumberdaya perikanan Kota Bengkulu merupakan sumberdaya yang multi spesies, terindikator dari beragamnya alat tangkap yang digunakan nelayan. Untuk mengukur tingkat upaya tangkap dengan sumberdaya ikan yang multi spesies tersebut diperlukan standarisasi jenis alat tangkap yang dominan di Kota Bengkulu. Berdasarkan hasil pendataan dan pengamatan lapangan, jenis alat tangkap yang dominan digunakan adalah jenis gillnet (jaring insang hanyut, jaring insang tetap, trammel net) dan pukat kantong (payang, dogol, pukat pantai). Dengan merujuk pada alat tangkap yang efisien dalam jumlah trip, standarisasi upaya tangkap di Kota Bengkulu tahun 1990-2006 disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Upaya tangkap dan produksi perikanan laut Kota Bengkulu

Tahun Kota Bengkulu
Upaya Tangkap
(Stnd,Trip,000) Produksi (Ton)
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006 13,430
9,630
17,120
19,880
11,720
22,040
18,020
20,390
29,990
35,480
38,770
43,630
47,170
31,936
33,173
35,067
36,902 6.578,5
4.499,8
7.088,4
7.465,6
6.622,6
8.463
7.377,8
7.766,3
8.622,6
11.196,4
11.435,1
14.894,7
15.180
15.230,80
16.200,5
25.982,70
27.120
Sumber : Diolah dari data DKP Kota Bengkulu, 2006 dan data primer,2006

Produksi perikanan laut Kota Bengkulu rata-rata tahun 1990-1999 sebesar 7.568,1 ton dan pada Tahun 2000-2006 rata-rata produksi sebesar 16.826,6 ton. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa upaya tangkap di Kota Bengkulu mengalami penurunan, sementara produksinya mengalami peningkatan. Upaya tangkap yang paling besar terjadi pada tahun 2002 yaitu mencapai 47,17 trip/tahun. Upaya tangkap paling rendah terjadi pada tahun 1991 yaitu mencapai 9,63 trip/tahun.
Pendugaan potensi dan pemanfaatan berguna untuk mengetahui besarnya kapasitas maksimum sumberdaya perikanan laut yang dapat ditangkap secara terus menerus tanpa mempengaruhi potensi lestari. Dengan menggunakan parameter biologi Kota Bengkulu (dimodifikasi dari Masyhudzulhak, 2004), dimana nilai r = 0,794815644, q = 0,084144096, K = 31.415,52, R2 = 0,793 dan DW = 1,78, maka pendugaan kapasitas maksimum perikanan laut Kota Bengkulu dengan menggunakan model Gompertz dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Produksi Aktual, potensi lestari dan upaya tangkap Kota Bengkulu Tahun 1990-2006

Gambar 1 memperlihatkan bahwa sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu telah mengalami tangkap lebih, dalam hal ini tahun 1990-1998 produksi aktual belum melampaui potensi lestari namun pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2006 telah terjadi lebih tangkap (overfishing). Pada tahun tersebut produksi aktual telah melampaui kapasitas produksi lestari. Kondisi ini didukung oleh hasil penelitian Suyedi (2007) bahwa telah terjadi overfishing pemanfaatan beberapa jenis sumberdaya perikanan laut Kota Bengkulu seperti ikan pelagis besar dan ikan demersal, dan telah melewati batas nilai dugaan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan laut tidak saja meningkatkan produksi tetapi juga menimbulkan overfishing sumberdaya perikanan.
Overfishing sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu disebabkan meningkatnya input produksi yaitu jumlah dan kapasitas armada penangkapan. Berdasarkan uraian diatas ternyata bertambahnya input produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat berpengaruh terhadap perubahaan kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan. Input produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan terdiri dari armada penangkapan di Kota Bengkulu dari tahun ketahun terjadi peningkatan, seperti terlihat pada Gambar 2 dibawah ini.


Gambar 2. Perkembangan armada penangkapan Kota Bengkulu tahun 1990-2002

Gambar 2 menunjukkan perkembangan armada penangkapan Kota Bengkulu untuk perahu tanpa motor (PTM) pada tahun 1990-2006 menurun dari 178 menjadi 85 unit. Sedangkan kapal motor < 5 GT menurun dari tahun 1990-2006 sebanyak 119 unit, kapal motor 5-10GT pada tahun 1990 sebanyak 47 unit pada tahun 2002 menjadi 102 unit, kapal motor 10-20 GT tahun 1990 sebanyak 26 unit menjadi 62 unit pada tahun 2006, kapal motor 20-30 GT pada tahun 1990 sebanyak 20 unit dan pada tahun 2006 menjadi 25 unit dan kapal motor > 30 GT meningkat 35 unit dari 7 unit tahun 1990. Hal ini menunjukkan penambahan armada penangkapan meningkatkan pertumbuhan produksi. Peningkatan armada penangkapan Kota Bengkulu tersebut menunjukan investasi disektor kelautan yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai penanaman modal, terutama jenis dan bobot kapal motor 5 GT- 30 GT. Hal ini menunjukkan penambahan armada penangkapan meningkatkan pertumbuhan produksi. Pendapat ini memperkuat penelitian Masyhudzulhak (2004), pertumbuhaan armada penangkapan di Kota Bengkulu menunjukan perkembangan investasi sektor wilayah pesisir cukup prospektif dan menguntungkan. Namun jika dalam pertumbuhaan armada tersebut tanpa ada pengaturan berakibat akan terjadi degradasi untuk meminimumkan dampak dari pertambahan armada penangkapan dilakukan pengaturan perizinan kapal motor dan penataan jalur-jalur operasi. Pengaturan sangat penting dari perkembangan armada penangkapan telah terjadi penyusutan armada penangkapan perahu tanpa motor akibat persaingan dalam pemanfaatn sumberaya perikanan.

Mangrove
Hutan mangrove di Propinsi Bengkulu pada umumnya didominasi jenis Aviciennia officinalis, Bruquiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Sonneratia graffiti, dan Xylocarpus granntum (Fakultas Kehutanan IPB, 2000). Hutan mangrove di Propinsi Bengkulu dengan luas 20.644 ha, tersebar di tiga kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Muko-Muko dengan luas 4 ha, Kabupaten Bengkulu Utara seluas 19600 ha, Kabupaten Bengkulu Selatan seluas 40 ha dan Kota Bengkulu dengan luas 1000 ha (Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Propinsi Bengkulu, 2002).
Penyebaran ekosistem mangrove di Kota Bengkulu terletak di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gading Cempaka dan Kecamatan Kampung Melayu seluas 1000 ha pada tahun 2002 (Atlas Sumberdaya Pesisir dan laut Propinsi Bengkulu, 2002). Sebaran ekosistem mangrove yang terdapat di Kecamatan Kampung Melayu relatif luas yaitu 999,63 ha, terletak di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Kandang luasnya 298,68 ha, Kelurahan Teluk Sepang seluas 529,07 ha dan Kelurahan Sumberjaya seluas 171,88 ha, seperti pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Lokasi mangrove di Kota Bengkulu tahun 2002
No Lokasi di temukan mangrove Kecamatan Luas (ha)
1. Kelurahan Kandang
Kelurahan Teluk Sepang
Kelurahan Sumberjaya Kampung Melayu 298,68
529,07
171,88
Jumlah 999,63
2. Kelurahan Padang Harapan Gading Cempaka 0,37
Jumlah Total 1000
Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2002; Dinas Kehutanan Kota Bengkulu, 2002

Dari hasil identifikasi lapangan (2007), susunan ekosistem mangrove yang dijumpai di Kelurahan Teluk Sepang pada zonasi dekat laut didominasi jenis Rhizophora apiculata dengan tinggi rata-rata pohon 1,2 meter, diameter rata-rata 5,1 centimeter. Jenis tegakan ini sebagian besar tumbuh di pinggir pantai secara berkelompok. Jenis Avicennia marina rata-rata tingginya 2,4 meter. Jenis Bruguiera gymnorrhiza juga ditemukan dengan tinggi rata-rata 3,6 meter dan berdiameter rata-rata 8,28 centimeter. Di Kelurahan Sumberjaya, ekosistem mangrove yang ditemui tersusun atas jenis Avicennia marina, menempati daerah pinggiran sungai atau bagian depan teluk dengan tinggi rata-rata pohon 3,1 meter, diameter rata-rata 5,4 centimeter dan Rhizophora apiculata dengan tinggi rata-rata pohonnya 1,3 meter, berdiameter 5,2 centimeter. Di Kelurahan Kandang, ekosistem mangrove jenis Rhizophora apiculata, yang ditemui lebih ke arah darat. Tinggi rata-rata pohonnya 3,4 meter dengan diameter 5,3 centimeter, begitu juga jenis Lumintzera litorea, dengan rata-rata tinggi pohon 1,5 meter, dan berdiameter 5,1 centimeter. Susunan ekosistem mangrove di kelurahan ini menunjukkan telah berkurangnya keanekaragaman jenis ekosistem mangrove.
Kondisi hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya, dan Kelurahan Kandang, teridentifikasi telah terdegradasi. Hal ini terlihat dari penurunan luas hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002 dari luas 529,07 ha, dan dalam kurun waktu lima tahun (2007) luasan tertinggal 367,70 ha dalam kondisi baik dan 161,37 ha kondisinya rusak. Di Kelurahan Sumberjaya, dari luasan mangrove 171,88 ha pada tahun 2002, mengalami penurunan dalam kurun waktu lima tahun (tahun 2007) seluas 92,5 ha yang kondisi mangrovenya baik, dan mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007 mengalami penurunan sampai seluas 74,82 ha dari 298,68 ha pada tahun 2002. Penurunan luas mangrove disajikan pada Gambar 3 berikut.


Gambar 3. Penurunan luas mangrove di daerah penelitian (sumber: atlas sumberdaya pesisir dan
lautan Kota Bengkulu, 2002 dan data primer, 2007)

Berdasarkan Gambar 3 menunjukan bahwa hutan mangrove di Kota Bengkulu terdegradasi. Degradasi hutan mangrove di daerah penelitian disebabkan adanya aktivitas masyarakat yang mengkonversi hutan mangrove menjadi pertambakan, permukiman, perkebunan sawit, lahan pertanian hortikultura dan terminal penampungan batu bara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Masyhudzulhak (2004) bahwa penyebab kerusakan hutan mangrove di Propinsi Bengkulu akibat adanya konversi hutan mangrove. Hasil ini sejalan dengan penjelasan Nybakken (1988); Dahuri et al. (2001) dan Bengen (2002), bahwa kerusakan ekosistem mangrove selain disebabkan faktor alam, juga dikarenakan akibat campur tangan manusia dengan mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri, dan lain-lain, seperti yang disajikan pada Gambar dari data spasial dibawah ini.


Gbr 4. Sebaran mangrove di Kelurahan Gbr 5. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya
Sumberjaya Tahun 2002 Tahun 2007

Gbr 6. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Gbr 7. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang
Sepang Tahun 2002 Tahun 2007

Gbr 8. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang Gbr 9 Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang
Tahun 2002 Tahun 2007

Data spasial pada Gambar 4-9, menunjukkan bahwa konversi hutan mangrove tergambar dari penutupan lahan (landcover) dari penggunaan lahan di daerah penelitian. Di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002 penggunan lahan yang di peruntukkan tambak seluas 17,33 ha, permukiman seluas 73,24 ha, perkebunan sawit seluas 9,75 ha dan perkebunan campuran seluas 22,98 ha. Dalam kurun lima tahun (tahun 2007), tidak terjadi peningkatan untuk lahan permukiman, perkebunan sawit, perkebunan campuran. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan, justru terjadi penambahan luas tambak sekitas 52,45 ha.
Di Kelurahan Teluk Sepang, penggunaan lahan tahun 2002 untuk permukiman 46,71 ha, perkebunan campuran seluas 619,89 ha, perkebunan sawit 291,40 ha. Namun pada tahun 2007, penggunaan lahan yang diperuntukkan perkebunan sawit terjadi peningkatan seluas 411,1 ha. Dan peruntukan lahan tempat penampungan batu bara seluas 12,68 ha. Peningkatan lahan perkebunan sawit, dikarenakan adanya kebijakan pemerintah daerah yang menetapkan Kelurahan Teluk Sepang sebagai daerah perkebunan sawit.
Penutupan lahan di Kelurahan Kandang untuk permukiman 59,45 ha, perkebunan campuran 39,43 ha, perkebunan sawit 7,22 ha, tambak 51,49 ha, hutan pantai 94,09 ha, semak belukar 44,14 ha dan hutan mangrove 99,08 pada Tahun 2002. Luas penutupan lahan Tahun 2007 mengalami perubahan luasnya, antara lain hutan mangrove menjadi 74,82 ha, tambak 161,06 ha, permukiman 72,79 ha dan hutan pantai 73,36 ha. Sedangkan untuk luas lahan perkebunan campuran, perkebunan sawit, semak belukar tidak mengalami perubahan. Keberadaan ekosistem hutan mangrove di Kota Bengkulu yang letaknya terpencar-pencar dan tidak begitu luas, secara keseluruhan, ternyata mangrove sangat penting untuk stabilitas ekosistem wilayah pesisir terutama sumberdaya perikanan laut. Hal ini sesuai dengan gambaran Sugandy (1993) bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi mata rantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, dan berbagai biota laut lainnya, dan selain itu sesuai dengan penjelasan Alikodra (2005) bahwa ekosistem mangrove juga tempat habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis maupun ekonomis dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia, dengan berkurangnya hutan mangrove akan mempengaruhi sumberdaya alam pesisir.

Lingkungan Yang Berubah di studi :
Degradasi kualitas lingkungan
Ancaman kerusakan sumberdaya alam pesisir di Kelurahan Teluk Sepang meliputi hilangnya mangrove yang disebabkan penebangan jalur hijau untuk jalur sampan atau perahu, dan untuk kayu bakar. Hal ini berdampak terjadinya abrasi dan instrusi air laut. Disamping itu juga hancurnya ekosistem bakau dikarenakan konversi untuk lahan pertanian masyarakat yang berdampak pada hilangnya daerah resapan air hujan atau sumber air payau. Pencemaran lingkungan perairan juga disebabkan karena limbah dari perusahaan tambang, dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (pengeboman ikan, trawl) yang merusak terumbu karang mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan sehingga menurunnya populasi ikan tangkapan.
Di Kelurahan Sumberjaya masalah utama yang mempengaruhi degradasi kualitas lingkungan meliputi pencemaran limbah rumah tangga berupa sampah rumah tangga dan sisa-sisa produksi perikanan yang berdampak pada pendangkalan sungai, mengotori sungai dan menutupi sistem perakaran mangrove. Tumpahan minyak dari pembuangan minyak kapal berakibat mengenangi permukaan air dan menutupi sistem perakaran mangrove. Hancurnya ekosistem mangrove yang yang disebabkan pembukaan untuk jalur masuk kapal atau perahu berdampak terjadinya abrasi, erosi dan hilangnya daerah resapan air hujan atau sumber air payau, hilangnya pelindung bibir pantai dan sungai mengakibatkan daratan di bibir pantai banyak yang tenggelam dan pasang semakin tinggi. Disamping itu, alat tangkap trawl dan pengeboman ikan yang dipergunakan mengancam kerusakan ekosistem perairan.

Tabel 3. Pendapat Responden tentang Kerusakan Lingkungan di wilayah Pesisir Kelurahan Teluk Sepang dan Kelurahan
Sumberjaya

No Bentuk kerusakan Teluk Sepang Sumberjaya
juml (%) juml (%)

1. Hilangnya mangrove 29 100% 24 58,54%
Lainnya - 17 41,46%
2. Limbah rumah tangga - 41 100%
Lainnya 29 100% -

3. Limbah perusahaan tambang 13 44,83% -
Lainnya 16 55,17%

4. Alat tangkap yang tidak ramah lingkungan 24 82,76% 18 43,90%
Lainnya 5 17,24% 23 56,10%

5. Tumpahan minyak kapal 7 24,14% 21 51,22%
Lainnya 22 75,86% 20 48,78%

T o t a l 29 100% 41 100%

Penyusutan luas hutan mangrove
Kawasan hutan mangrove di Kota Bengkulu dapat dijumpai di sepanjang pesisir pantai Pulau Baai, terletak di daerah teluk dan di sepanjang sungai Jenggalu. Luas hutan mangrove Pulai Baai di Kota Bengkulu pada tahun 2000 seluas 100 ha, yang penyebarannya terletak di dua kecamatan; yaitu Kecamatan Selebar (setelah pemekaran Kecamatan Kampung Melayu) dan Kecamatan Gading Cempaka (Atlas sumberdaya pesisir dan lautan Propinsi Bengkulu, 2003). Luasan tersebut telah terjadi penyusutan hutan mangrove pada tahun 2004 dengan area luasnya sebesar 3,824 ha (Masyhudzulhak, 2004). Penyebaran magrove Pulau Baai yang cukup luas di Kecamatan Kampung Melayu mengalami penyusutan dengan area luasnya 3.446 ha yang disebabkan pemukiman, konversi lahan pertanian dan penggunaan lainnya seperti lapangan golf.
Sumberdaya perikanan laut
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Kota Bengkulu telah mengalami tangkap lebih (overfishing). Peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan erat kaitannya dengan peningkatan armada tangkap di Kota Bengkulu terutama armada penangkapan perahu motor > 30 GT , jumlah 36 perahu motor tahun 2005 berkembang menjadi 40 perahu motor pada tahun 2006.

Pencemaran lingkungan perairan
Secara keseluruhan kondisi lingkungan perairan di dua kelurahan studi sudah sangat mengkhawatirkan, terutama di kelurahan Sumberjaya. Hal ini terlihat dari kondisi perkampungan yang padat, kumuh dan kebiasaan yang tidak memperhatikan kesehatan lingkungan, dimana terlihat 68,29% membuah sampah langsung kesungai/laut, dan 75,61% pembuangan kotoran langsung ke sungai/laut.
Perairan di Kelurahan Teluk Sepang kandungan Bahan Padat Tersuspensi (TSS) rata-rata 284- 397,2 mg/lt, Bahan Padat Terlarut (TDS) rata-rata 8800 – 10400 mg/lt, DO 6,4 – 8,6 mg/lt, Fe 5,59 – 5,68 mg/lt, Nitrit 0,07 – 0,12 mg/lt, Amoniak 0,59 – 0,62 mg/lt. Perairan di Kelurahan Sumberjaya menunjukkan kandungan TSS rata-rata 303,6 – 440,8 mg/lt, TDS 11600 – 13400 mg/lt, DO 5,6 – 8,4 mg/lt, Fe 4,52 – 5,62 mg/lt, Nitrit 0,04 – 0,07 mg/lt, Amoniak 0,49 – 0,56. Kontribusi senyawa-senyawa tersebut menunjukkan kondisi perairan mengalami pencemaran dalam air dikarena telah melebihi baku mutu yang ditentukan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 05/2005 untuk baku mutu biota laut dan perikanan.

Kaitan degradasi sumberdaya alam pesisir dan laut terhadap kemiskinan nelayan
Degradasi sumber daya alam dan laut membuat nelayan harus berlayar jauh ke laut lepas untuk mendapatkan hasil tangkapan dan hal demikian meningkatkan biaya operasional. Hasil tangkapan yang diperoleh belum tentu bisa menutupi biaya operasional karena produktivitas rendah sehingga pendapatan rendah. Pendapat rendah menyebabkan tabungan rendah sehingga terjadi kemiskinan secara ekonomi. Tabungan yang rendah disebabkan oleh hubungan sosial yang bersifat patron client dan gaya hidup konsumtif. Implikasi dari kemiskinan ekonomi ini mengakibatkan daya beli masyarakat nelayan menjadi rendah sehingga mengakibatkan kualitas gizi rendah. Kualitas gizi rendah diakibatkan oleh standar perumahan yang rendah dan kualitas kesehatan rendah. Kualitas kesehatan menyebabkan juga tingkat pendidikan yang rendah, sehingga produktivitas rendah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kondisi sumberdaya alam pesisir di dua kelurahan studi telah mengalami degradasi kualitas lingkungan.
2. Hubungan yang asimetris dan degradasi sumberdaya alam pesisir dan laut menimbulkan proses pemiskinan masyarakat nelayan terutama nelayan kecil/tradisional menjadi permanen. Sumberdaya mangrove yang rusak, penurunan jumlah ikan, dan pencemaran perairan membuat sungai maupun perairan pantai tidak lagi lagi memberikan kontribusi secara berkesinambungan untuk menopang kelangsungan hidup masyarakat nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 2005. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Makalah ini disampaikan pada pelatihan IC2PM angkatan III tahun 2005. Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Cincin-Sain, B and R.W. Knecht. 1998. Intergrated Coastal and Ocean Management : Concept and Practices. Island Press. Washington D.C.
Satria, A., 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cisendo. Jakarta.
Scott, J.S. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3S. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar